Halaman

Wednesday, October 20, 2010

Imam Al-Ghazali dan Falsafah

 Sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=89
Paling tidak dua pertanyaan dapat diajukan untuk memulai kajian kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof) karya Imam al-Ghazali; 1. Apakah benar serangan al-Ghazali, seperti tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah, telah membuat filsafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak berkembang di dunia Islam? 2. Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsafat?
Untuk mencari jawaban dua masalah tersebut terlebih dahulu dikaji apa sesungguhnya yang mendorong al-Ghazali mempelajari filsafat dan kemudian menulis bukunya: Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Juga dari kitab-kitabnya, terutama Tahafut al-Falasifah yang sedang dikaji ini, dapat diketahui inti kritik al-Ghazali terhadap para filosof. Dari situ selanjutnya dapat diketahui secara induktif apakah betul bahwa filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam setelah ada kritik keras al-Ghazali terhadap para filosof itu?

Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).

Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.

Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.

Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.

Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.

Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta.

Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.

Al-Ghazali dan Kebenaran
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begitu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok aliran dalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu, pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intelektual dan pemikir. Kedua, kelompok Bathiniyyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam Syi’ah Isma’iliyyah yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajaran dari padanya secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang dikatakan sebagai kalangan elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).

Melihat bahwa semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan belum menemukannya, al-Ghazali pernah selama dua bulan mengalami penyakit syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pencariannya setelah sembuh dari penyakitnya.

Sementara ahli menyatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazali adalah syak dalam pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari “idola’ (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif dapat menyimpulkan kebenaran hakiki.

Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu tehadap pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5). Dengan kata lain, di samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain, membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan (skeptik-metodik).

Pokok Perdebatan al-GhazaliDasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menerima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor Suliaman Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd. (Baca pengantar-pengantar dua kitab tersebut dalam beberapa edisinya, terutama edisi keempat untuk “Tahafut al-Falasifah”).

Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1.    Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau
2.    Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.

Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).

Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.

Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.

Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).

Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.

Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.

Catatan Penting
Tentu tidak bisa begitu saja membenarkan tuduhan demikian. Dengan menyimak secara seksama Tahafut al-Falasifah akan dapat terlihat bahwa tidak ada pertentangan yang mendasar atau prinsipil antara al-Ghazali dan para filosof, melainkan hanyalah beda interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan karena diterima atau ditolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Jadi hanyalah perbedaan ijtihad yang tidak membawa kekafiran. Karena itu Ibnu Rusyd sendiri menyatakan, pengkafiran al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi bukan pengkafiran absolut karena dalam al-Tafriqah, al-Ghazali menegaskan bahwa pengkafiran atas dasar ijma’ tidak bersifat mutlak.

Begitu pula sejarah membuktikan bahwa memang di kalangan Islam Sunni bagian Timur yang berpusat di Baghdad, filsafat sesudah al-Ghazali tidak berkembang. Tetapi di dunia Islam bagian Barat yang berpusat di Cordova, filsafat justru berkembang baik dan melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.

Jadi, jelaslah sudah tidak berkembangnya filsafat di abad ke-XIII bukan tanggung jawab kitab Tahafut al-Falasifah. Apalagi menurut komentar Sulaiman Dunya dalam mengedit Tahafut al-Falasifah, kitab itu lebih filosofis dan rasional dari pada pemikiran para filosof yang diserangnya. Artinya, kitab itu justru menghidupkan filsafat di dunia Islam.

Kalau begitu, andaikata benar bahwa filsafat tidak berkembang di dunia Islam khususnya di dunia Islam Sunni, maka sebabnya harus dicari di luar kitab Tahafut al-Falasifah. Lebih-lebih kitab ini hampir tak terbaca oleh mayoritas umat Islam Sunni, termasuk Indonesia, misalnya. Mungkin sebab itu terletak pada tasawwuf  yang menurut pemikiran al-Ghazali adalah jalan yang sebetulnya untuk mencari kebenaran hakiki dengan mengutamakan daya rasa (intuisi) dan meremehkan akal. Kitab tasawwuf al-Ghazali Ihya` Ulumuddin yang sangat populer justru sangat besar pengaruhnya terutama di dunia Islam Sunni.

Hal yang juga “membebaskan” kitab Tahafut al-Falasifah adalah karena kitab ini, seperti dikatakan DR. Sulaiman Dunya—dengan mengutip pendapat Aristoteles bahwa orang yang mengingkari metafisika adalah berfilsafat metafisis—adalah kitab filsafat juga, setidaknya falsafi al-maudhu’i (bertema filsafat) kalau bukan falsafi al-ghayah (bertujuan filsafat). Di samping itu al-Ghazali dalam kitab itu bersikap sangat hati-hati untuk menggambarkan pemikiran para filossof yang hendak dikritiknya (Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 24-25). Bila kitab itu dibaca dan dipelajari, justru dapat membangkitkan gairah untuk mempelajari filsafat dan berfilsafat (berfikir logis, filosofis dan kritis) dalam memahami agama. Maka, sudah saatnya kitab itu dibaca dan dipelajari dengan baik di lembaga pendidikan-pendidikan Islam, seperti pesantren sehingga menghasilkan intelektual yang produktif dan tidak konsumtif, di samping untuk mengimbangi pemahaman tasawwuf al-Ghazali, sehingga melahirkan pemahaman yang utuh terhadap pemikiran dan karya-karya al-Ghazali. Semoga. (nia)   
Tentang Kitab;
Judul       :  Tahafut al-Falasifah
 Penulis   :  Imam al-Ghazali
 Editor  :  DR. Sulaiman Dunya
 Penerbit      :  Mesir - Dar al-Ma’arif
 Cetakan :  IV
 Tebal     :  345 halamanSumber:

Sisi Biologi dan Kedokteran Imam Al Ghazali

Sisi Biologi dan Kedokteran Imam Al Ghazali
By Republika Newsroom
Rabu, 16 Desember 2009 pukul 08:18:00

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali merupakan seorang pemikir yang multi talenta yang banyak menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, sejarah, ekonomi, hukum, kedokteran, biologi, kimia, sastra, etika, musik, maupun sufisme. Dia adalah teolog Islam, ahli hukum, ahli filsafat, kosmologi, psikolog, maupun biologi. Dia dilahirkan di Tus, Provinsi Khorasan, Persia dan hidup antara tahun 1058 hingga 1111. Al Ghazali yang sering disebut juga Algazel merupakan salah satu sarjana yang paling terkenal dalam sejarah pemikiran Islam Sunni. Dia dianggap sebagai pelopor metode keraguan dan skeptisisme. Salah satu karya besarnya berjudul Tahafut Al Falasifah atau The Incoherence of the Philosophers. Dia berusaha mengubah arah filsafat awal Islam, bergeser jauh dari metafisika Islam yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno dan Helenistik menuju filsafat Islam berdasarkan sebab-akibat yang ditetapkan oleh Allah SWT atau malaikat perantara, sebuah teori yang kini dikenal sebagai occasionalism.

Keberadaan Al Ghazali telah diakui oleh sejarawan sekuler seperti William Montgomery Watt yang menyebutnya sebagai Muslim terbesar setelah Muhammad. Selain kesuksesannya dalam mengubah arah filsafat Islam awal Neoplatonisme yang dikembangkan atas dasar filsafat Helenistik, Dia juga membawa Islam ortodoks ke dalam ilmu tasawuf. Al Ghazali juga sering disebut sebagai Pembuktian Islam, Hiasan keimanan, atau Pembaharu agama. Dalam buku berjudul Historiografi Islam Kontemporer disebutkan, seorang penulis bernama Al Subki dalam bukunya yang berjudul Thabaqat Al Shafiyya Al Kubra pernah menyatakan, “Seandainya ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad, maka manusianya adalah Al Ghazali.” Hal ini menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki Al Ghazali.

Pengaruh Al Ghazali baik dalam bidang agama maupun ilmu pengetahuan memang sangat besar. Karya-karya maupun tulisannya tak pernah berhenti dibicarakan hingga saat ini. Pengaruh pemikirannya tidak hanya mencakup wilayah di Timur Tengah tetapi juga negara-negara lain termasuk Indonesia dan negara barat lainnya. Para ahli filsafat barat lainnya seperti Rene Descartes, Clarke, Blaise Pascal, juga Spinoza juga mendapatkan banyak pengaruh dari pemikiran Al Ghazali.

Kebanyakan orang-orang mengenal pemikiran Al Ghazali hanya dalam bidang teologi, fiqih, maupun sufisme. Padahal dia merupakan seorang ilmuwan yang hebat dalam bidang ilmu biologi maupun kedokteran. Dia telah menyumbangkan pemikiran dan jasa yang besar dalam bidang kedokteran modern dengan menemukan sinoatrial node (nodus sinuatrial) yaitu jaringan alat pacu jantung yang terletak di atrium kanan jantung dan juga generator ritme sinus. Bentuknya berupa sekelompok sel yang terdapat pada dinding atrium kanan, di dekat pintu masuk vena kava superior. Sel-sel ini diubah myocytes jantung. Meskipun mereka memiliki beberapa filamen kontraktil, mereka tidak kontraksi. Penemuan sinoatrial node oleh Al Ghazali ini terlihat dalam karya-karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal, Ihya Ulum Al Din, dan Kimia Al-Sa'adat. Bahkan penemuan sinoatrial node oleh Al Ghazali ini jauh sebelum penemuan yang dilakukan oleh seorang ahli anatomi dan antropologi dari Skotlandia, A. Keith dan seorang ahli fisiologi dari Inggris MW Flack pada tahun 1907. Sinoartrial node ini oleh Al Ghazali disebut sebagai titik hati.

Dalam menjelaskan hati sebagi pusat pengetahuan intuisi dengan segala rahasianya, Al Ghazali selalu merumuskan hati sebagai mata batin atau disebut juga inner eye dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal yang diterjemahkn oleh C. Field menjadi Confession of Al Ghazali. Dia juga menyebut mata batin sebagai insting yang disebutnya sebagai cahaya Tuhan, mata hati, maupun anak-anak hati. Kalu titik hati Al Ghazali dibandingkan dengan sinoartrial node, maka akan terlihat bahwa titik hati sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan sinoartrial node. Dia menyebutkan bahwa titik hati tersebut tidak dapat dilihat dengan alat-alat sensoris sebab titik tersebut mikroskopis. Para ahli kedokteran modern juga menyatakan sinoartrial node juga bersifat mikroskopis.

Al Ghazali menyebutkan titik hati tersebut secara simbolis sebagai cahaya seketika yang membagi-bagikan cahaya Tuhan dan elektrik. Menurut gagasan modern, dalam satu detik, sebuah impuls elektrik yang berasal dari sinoartrial node mengalir ke bawah lewat dua atria dalam sebuah gelombang setinggi 1/10 milivolt sehingga otot-otot atrial dapat melakukan kontraksi.

Pada era modern ini para ahli anatomi menyatakan pembentukan tindakan secara potensial berasal dari hati, yaitu kontraksi jantung yang merupakan gerakan spontan yang terjadi secara independen dalam suatu sistem syaraf. Dia juga menyatakan bahwa hati itu merdeka dari pengaruh otak dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min Al-Dhalal. Para pemikir modern banyak yang mengatakan, suatu tindakan kadang terjadi melalui mekanisme yang tak seorang pun tahu mengenainya. Namun Al Ghazali mengatakan, tindakan yang terjadi melalui mekanisme yang tak diketahui tersebut sebenarnya disebabkan oleh sinoartrial node. Dia juga menyatakan penguasa misterius tubuh yang sebenarnya adalah titik hati tersebut, bukanlah otak.

Al Ghazali tidak hanya menggambarkan dimensi fisik sinoartrial node tetapi dia juga menggambarkan dimensi metafisik dari sinoartrial node. Hal ini jauh berbeda dengan pandangan para pemikir sekuler yang hanya mampu menggambarkan sinoartrial node secara fisik semata. Secara metafisik, Al Ghazali menggambarkan sinoartrial node sebagai pusat pengetahuan intuitif atau inspirasi ke-Tuhanan yang bisa berfungsi sebagi peralatan untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada hambanya. Namun orang yang bisa memfungsikan sinoartrial node hanyalah orang yang telah mencapai penyucian diri sendiri atau orang yang sangat beriman kepada Allah SWT.

Dukungan Al Ghazali terhadap pengembangan ilmu anatomi dan pembedahan

Selain menemukan sinoartrial node, Al Ghazali juga memberikan sumbangan lain dalam bidang kedokteran dan biologi. Catatan sejarah menyebutkan, tulisan-tulisan Al Ghazali diyakini menjadi pendorong bangkitnya kemauan untuk melakukan studi kedokteran pada abad pertengahan Islam, khususnya ilmu anatomi dan pembedahan.

Dalam karyanya The Revival of the Religious Sciences, dia menggolongkan pengobatan sebagai salah satu ilmu sekuler yang terpuji (mahmud) dan menggolongkan astrologi sebagai ilmu sekuler yang tercela (madhmutn). Sehingga dia sangat mendorong orang-orang untuk memepelajari ilmu pengobatan. Saat membahas tentang meditasi (Tafakkur), dia menjelaskan anatomi tubuh pada sejumlah halaman bukunya secara rinci untuk menjelaskan posisi yang cocok guna melakukan kontemplasi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Al Ghazali juga membuat pernyataan yang kuat guna mendukung orang-orang untuk mempelajari ilmu anatomi dan pembedahan dalam karyanya yang berjudul The Deliverer from Error. Dia menyebutkan, naturalis (al-tabi'yun) adalah sekelompok orang yang terus-menerus mempelajari alam, keajaiban binatang dan tumbuhan. Mereka juga sering terlibat dalam ilmu anatomi maupun pembedahan (ilm at-tashriih) dari tubuh hewan. Melalui proses pembedahan itu mereka mampu merasakan keajaiban rancangan Allah SWT dan kebijaksanaan-Nya serta keajaiban-Nya. Dengan ini mereka dipaksa untuk mengakui Allah SWT merupakan Penguasa alam semesta dan siapapun bisa mengalami kematian. Tidak seorang pun dapat belajar anatomi maupun pembedahan dan keajaiban kegunaan dari bagian-bagian organ tubuh tanpa mengetahui kesempurnaan desain ciptaan Allah yang berhubungan dengan struktur (binyah) binatang maupun struktur manusia. Dengan demikian, Al Ghazali menganggap dengan mempelajari ilmu anatomi maka manusia akan sadar dengan kehebatan Allah SWT yang Maha Agung sehingga hal itu membuatnya lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta.

Dukungan kuat Al Ghazali untuk memajukan studi tentang anatomi dan pembedahan memberikan pengaruh yang kuat dalam kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan yang mulai dilakukan oleh pada dokter Muslim pada abad 12 dan 13. Sejumlah dokter sekaligus ilmuwan hebat Muslim yang mulai mendorong kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan pada masa itu antara lain Ibn Zuhr, Ibn al-Nafis, maupun Ibn Rusyd. dya/taq

Sumber: http://pendidikansains.blogspot.com/2010/01/sisi-biologi-dan-kedokteran-iman-al.html

Pendidikan dalam Kacamata Al-Ghazali

A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Banyak dari kita mengenal al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, Faqih dan sufi, padahal ada sisi lain dari al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian para sarjana belakangan yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni sesudahnya. Lalu apa saja pemikiran al-Ghazali dimaksud. Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal yang penulis rujuk, rujukan utama dan pertama adalah karya besarnya Ihya’ Ulumiddin juz I, kedua, terjemahan karyanya yang berjudul Ayyuha Al-Walad, yang ketiga adalah pendapat-pendapat para cendekiawan yang juga penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berikut adalam item ‘b’ dalah ringkasan isi dari Ihya’ Ulumiddin Bab I yang dianggap mewakili bab yang berisi wacana pendidikan dalam kitab Ihya’. Akan tetapi yang perlu disadari oleh pembaca bukan berarti selain di bab I Ihya’, dalam bab-bab lain al- ghazali tidak menyinggung tentang pendidikan. Jadi sebenarnya lebih pada pilihan penulis karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada.
B. Ilmu pengetahuan
Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu & keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar.
Baiklah kita mulai dari hal yang pertama, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-qur’an surat al-mujadilah ayat 11 yang mempunyai arti: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberepa derajat. Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan hadis Nabi bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah “lil ulama’I darajat fauqa al-mu’minina bisab’imi’ati darajat ma baina al-darajataini masiratu khamsami’ati ‘am.” yang artinya para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun. Di halaman pertama ihya’ pada bab I[2] saja setidaknya terdapat 14 ayat yang dikutib al-Ghazali yang dijadikan pen-support akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya. Dan melengkapinya dengan mengutip 27 hadis yang mendukung. Sedangkan dalam keutamaan belajar beliau memulai dengan dengan surat taubat ayat 122 kemudian melanjutkannya dengan surat al-nahl ayat 43 dan al-anbiya’ ayat 7 yang berbunyi “fas’alu ahla al-dikri in kuntum la ta’lamun.” dan setelah itu setidaknya beliau menyebutkan 9 hadis yang juga bernada majaz metaforis.
Yang menarik disamping beliau menyandarkan pendapat-pendapatnya pada dua asas islam di atas, beliau memakai pula sandaran secara logika (aqli). Hal ini rupanya tak luput dari background-nya sebagai guru besar Universitas Nidhamiyah yang mengikuti madhab Syafi’iyah dan madhab kalam al-Asy’ari yang memang sering memadukan dalil naqli dan ’aqli. Ebrikut adalah ikhtisar pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan.
1. Kategorisasi pengetahuan
Setelah memprovokasi umat islam untuk mencari ilmu, al-Ghazali melanjutkannya dengan kategorisasi ilmu pengetahun. Dalam kategorisasi ilmu, al-Ghazali membaginya pada ilmu yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) dan ilmu yang tidak pantas untuk dipelajari (al-madmum), kemudian beliau juga membagi ilmu yang pantas dipelajari menjadi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
Akan tetapi sebelum membahas hal itu, al-Ghazali memulainya dengan mengatakan tidak adanya diskriminasi dalam mencari ilmu dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi” t{alabu al-‘ilmi faridah ‘ala kulli muslim” setelah itu baru menjelaskan pada apa yang ia maksud dengan ilmu yang fadlu ‘ain, yaitu ilmu yang meliputi ilmu teologi seperlunya hingga ia yakin tentang Allah, kemudian ilmu syari’at hingga ia paham akan apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan . selebihnya menurutnya adalah fardlu kifayah.
Sedangkan ilmu yang tidak pantas dipelajari bagi al-Ghazali adalah ilmu yang dapat menyesatkan kita seperti ilmu sihir dan ilmu nujum (ramalan), dan filsafat. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan. Seperti imu njum untuk mengetahui letak kiblat, filsafat hanya dalam dasar untuk keperluan kedokteran dan matematika.
2. Etika Belajar
Sedangkan dalam etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-Ghaza>li> seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.
Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.
Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id)
3. Etika Mengajar
Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih saying seperti anaknya sendiri.
Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).
Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan
Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.
C. Berbincang Tentang Pendidikan dalam kacamata al-Ghaza>li>
Ditilik dari Ihya’ bab I, al-Ghaza>li> adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Pula ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar. Jadi kurang arif jika ada anggapan bahwa umat islam terbelakang gara-gara al-Ghaza>li>.
Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghaza>li> telah memakai kategorisasi ilmu akhrirat atau ilmu agama. Lagi disana, al-Ghaza>li> masih memakai kata fiqh sebagai pemahaman, faqih sebagai orang yang paham atau berilmu. Hal ini terlihat pada hadis yang dinukilnya,” man yurid Allahu bihi> khairanyufaqqihhu fi al-di>n”. Kata Alim dan Ulama’ juga masih diartikan sebagai cendekiawan atau orang yang berilmu. Hal ini bisa terlihat dari hadis yang dikutip oleh al-Ghaza>li>” yashfa’u yauma al-qiya>mati tsalatsatun; al-anbiya>’ tsumma al-ulama>’ tsumma al-shuhada>’”. Dan pula “fadlu al-mu’min al-‘alim ‘ala al-mu’min al-‘a>bid bisab’ina darajatan”. Sepertinya hingga masa al-Ghaza>li> kata Faqih dan Ulama’ belum secara khusus merujuk pada disiplin ilmu fiqh dan Ulama’ sebagai ahli ilmu agama. Walaupun hal-hal yang mengarah ke arah itu sudah ada.
Pembahasan al-Ghaza>li> tentang pendidikan meliputi tujuan pendidikan, metode belajar, metode mengajar, karakteristik dan kategorisasi keilmuan.
Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghaza>li> adalah mencapai mardlatillah (Ridha Allah) dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti pendidikan itu sendiri.
Dalam kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama dan utama dalam pemikiran al-Ghaza>li>. Sehingga menurut al-Ghaza>li> selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’ . jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun al-Ghaza>li> masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib belajar. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam kacamata al-Ghaza>li> karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar.Dan menurut penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghaza>li> adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghaza>li> mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghaza>li> tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawa>b (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghaza>li> juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghaza>li> tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghaza>li> menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghaza>li>, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah prose situ masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.[3]
Tapi hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghaza>li> tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya’ Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-‘Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan alGhazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghaza>li> menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak tahfut al-falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa Aku atau Kita. malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghaza>li> menggunakan kata penggati engkau untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Bana>t.[4] Mungkin inilah metode yang benar menurut al-Ghaza>li> tentang belajar dan mengajar (pendidikan).
D. Penutup
Saya tidak tahu bagaimana menutup diskusi kita kali ini karena bagi saya pribadi, pembacaan atas al-Ghaza>li> adalah pembacaan yang belum tuntas. Tentu sangat riskan jika saya membuat kesimpulan tentang isi pikiran al-Ghaza>li> tentang pendidikan.
Yang mungkin saya lakukan adalah kesimpulan tentang apa yang saya paparkan dalam item sebelumnya, yaitu bahwa setidaknya pandangan al-Ghazali tentang pendidikan mencakup pada tujuan pendidikan; yaitu keridlaan Allah, metode pendidikan; dalam hal ini al-Ghazali bukanlah seorang pemikir pendidikan yang ekstrim terhadap satu metode dan menolak metode yang lain, ia banyak menggabungkan metode-metode yang ada untuk memperoleh hasil yang optimal, kategorisasi keilmuam; hal ini juga menjadi perhatian al-Ghazali dan dijelaskan secara panjang lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, ihya’ ulumiddi>n. Da>r al-kita>b al-‘ilmiyah. Beirut-lebanon tanpa tahun.
Al-Ghaza>li,> Imam, Ayyuha al-Walad. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986
Nakosten, Mehdi. Konstribusi Islam Atas Dunia Barat. Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Zamjani, Irsyad. Wacana Pendidikan Ghazali. Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002

[1] Yaitu setelah ia berguru secara massif pada al-Juwainisejak usia 23 tahun sekaligus menjadi asistennya dalam mengajar di Nidzamiyah- Bagdad, al-Ghaza>li> sudah mulai menulis kitab dan mulai mendapatkan tempat di Nidzamiyah. saat Juwaini wafat pada 478 H/1085 M, al-Ghaza>li> yang baru berumur 28 tahun diangkat menjadi Guru Besar di Nidzamiyah.
[2] Dalam cetakan ihya’ ulumiddi>n yang diterbitkan oleh da>r al-kita>b al-‘ilmiyah Beirut-lebanon tanpa tahun.
[3] Irsyad zamjani Wacana Pendidikan Ghazali(Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002) 215-216
[4] Lih. Al-Ghaza>li>, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986) bandingkan dengan terjemahannya yang dimuat oleh Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam Atas Dunia Barat(Surabaya: Risalah Gusti, 1996)126-130
Sumber: http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/12/13/pendidikan-dalam-kacamata-al-ghazali/

Al-Ghazali, Abu Hamid (1058-1111 M)

AL-GHAZALI, ABU HAMID (1058-1111)
al-Ghazali is one of the greatest Islamic Jurists, theologians and mystical thinkers. He learned various branches of traditional Islamic religious sciences in his home town of Tus, Gurgan and Nishapur in the northern part of Iran. He was also involved in Sufi practices from an early age. Being recognized by Nizam al-Mulk, the vizir of the Seljuq sultans, he was appointed head of the Nizamiyyah College at Baghdad in AH 484/AD 1091. As the intellectual head of the Islamic community, he was busy lecturing on Islamic jurisprudence at the College, and also refuting heresies and responding to questions from all segments of the community. Four years later, however, al-Ghazali fell into a serious spiritual crisis and finally left Baghdad, renouncing his career and the world After wandering in Syria and Palestine for about two years and finishing the pilgrimage to Mecca, he returned to Tus, where he was engaged in writing, Sufi practices and teaching his disciples until his death. In the meantime he resumed teaching for a few years at the Nizamiyyah College in Nishapur
Al-Ghazali explained in his autobiography why he renounced his brilliant career and turned to Sufism. It was, he says, due to his realization that there was no way to certain knowledge or the conviction of revelatory truth except through Sufism. (This means that the traditional form of Islamic faith was in a very critical condition at the time.) This realization is possibly related to his criticism of Islamic philosophy. In fact, his refutation of philosophy is not a mere criticism from a certain (orthodox) theological viewpoint. First of all, his attitude towards philosophy was ambivalent; it was both an object and criticism and an object of learning (for example, logic and the natural sciences). He mastered philosophy and then criticized it in order to Islamicize it. The importance of his criticism lies in his philosophical demonstration that the philosophers’ metaphysical arguments cannot stand the test of reason. However, he was also forced to admit that the certainty, of revelatory truth, for which he was so desperately searching, cannot be obtained by reason. It was only later that he finally attained to that truth in the ecstatic state (fana’) of the Sufi. Through his own religious experience, he worked to revive the faith of Islam by reconstructing the religious sciences upon the basis of Sufsm, and to give a theoretical foundation to the latter under the influence of philosophy. Thus Sufism came to be generally recognized in the Islamic community. Though Islamic philosophy did not long survive al-Ghazali’s criticism, he contributed greatly to the subsequent philosophization of Islamic theology and Sufism.

1 Life
1 Life

The eventful life of Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (or al-Ghazzali) can be divided into three major periods. The first is the period of learning, first in his home town of Tus in Persia, then in Gurgan and finally in Nishapur. After the death of his teacher, Imam al-Haramayn AL-JUWAYNI, Ghazali moved to the court of Nizam al-Mulk, the powerful vizir of the Seljuq Sultans, who eventually appointed him head of the Nizamiyyah College at Baghdad in AH 484/AD 1091.
The second period of al-Ghazali’s life was his brilliant career as the highest-ranking orthodox ‘doctor’ of the Islamic community in Baghdad (AH 484-8/AD 1091-5). This period was short but significant. During this time, as well as lecturing on Islamic jurisprudence at the College, he was also busy refuting heresies and responding to questions from all segments of the community. In the political confusion following the assassination of Nizam al-Mulk and the subsequent violent death of Sultan Malikshah, al-Ghazali himself fell into a serious spiritual crisis and finally left Baghdad, renouncing his career and the world.
This event marks the beginning of the third period of his life, that of retirement (AH 488-505/AD 1095-1111), but which also included a short period of teaching at the Nizamiyyah College in Nishapur. After leaving Baghdad, he wandered as a Sufi in Syria and Palestine before returning to Tus, where he was engaged in writing, Sufi practices and teaching his disciples until his death.
The inner development leading to his conversion is explained in his autobiography, al-Munqidh min al-dalal (The Deliverer from Error), written late in his life. It was his habit from an early age, he says, to search for the true reality of things. In the process he came to doubt the senses and even reason itself as the means to ‘certain knowledge’, and fell into a deep scepticism. However, he was eventually delivered from this with the aid of the divine light, and thus recovered his trust in reason. Using reason, he then set out to examine the teachings of ‘the seekers after truth’: the theologians, philosophers, Isma‘ilis and Sufis. As a result of these studies, he came to the realization that there was no way to certain knowledge except through Sufism. In order to reach this ultimate truth of the Sufis, however, it is first necessary to renounce the world and to devote oneself to mystical practice. Al-Ghazali came to this realization through an agonising process of decision, which led to a nervous breakdown and finally to his departure from Baghdad.
The schematic presentation of al-Munqidh has allowed various interpretations, but it is irrelevant to question the main line of the story. Though certain knowledge is explained in al-Munqidh as something logically necessary, it is also religious conviction (yaqin) as mentioned in the Ihya’ ‘ulum al-din (The Revival of the Religious Sciences). Thus when he says that the traditional teachings did not grip him in his adolescence, he means to say that he lost his conviction of their truth, which he only later regained through his Sufi mystical experiences. He worked to generalize this experience to cure `the disease' of his time.
The life of al-Ghazali has been thus far examined mostly as the development of his individual personality. However, since the 1950s there have appeared some new attempts to understand his life in its wider political and historical context (Watt 1963). If we accept his religious confession as sincere, then we should be careful not to reduce his thought and work entirely to non-religious factors. It may well be that al-Ghazali’s conversion from the life of an orthodox doctor to Sufism was not merely the outcome of his personal development but also a manifestation of a new stage in the understanding of faith in the historical development of Islam, from the traditional form of faith expressed in the effort to establish the kingdom of God on Earth through the shari‘a to a faith expressed as direct communion with God in Sufi mystical experience. This may be a reflection of a development in which the former type of faith had lost its relevance and become a mere formality due to the political and social confusion of the community. Al-Ghazali experienced this change during his life, and tried to revive the entire structure of the religious sciences on the basis of Sufism, while at the same time arguing for the official recognition of the latter and providing it with solid philosophical foundations.
2 Theological conceptions

Al-Ghazali wrote at least two works on theology, al-Iqtisad fi'I-i`tiqad (The Middle Path in Theology) and al-Risala al-Qudsiyya (The Jerusalem Epistle). The former was composed towards the end of his stay in Baghdad and after his critique of philosophy, the latter soon afterwards in Jerusalem. The theological position expressed in both works is Ash'arite, and there is no fundamental difference between al-Ghazali and the Ash‘arite school (see ASH‘ARIYYA AND MU‘TAZILA). However, some changes can be seen in the theological thought of his later works, written under the influence of philosophy and Sufism (see §4).
As Ash‘arite theology came into being out of criticism of Mu‘tazilite rationalistic theology, the two schools have much in common but they are also not without their differences. There is no essential difference between them as to God's essence (dhat Allah); al-Ghazali proves the existence of God (the Creator) from the createdness (hadath) of the world according to the traditional Ash‘arite proof. An atomistic ontology is presupposed here, and yet there are also philosophical arguments to refute the criticism of the philosophers. As for God's attributes (sifat Allah), however, al-Ghazali regards them as `something different from, yet added to, God's essence' (al-Iqtisad: 65), while the Mu‘tazilites deny the existence of the attributes and reduce them to God's essence and acts. According to al-Ghazali, God has attributes such as knowledge, life, will, hearing, seeing and speech, which are included in God's essence and coeternal with it. Concerning the relationship between God's essence and his attributes, both are said to be ‘not identical, but not different’ (al-Iqtisad: 65). The creation of the world and its subsequent changes are produced by God's eternal knowledge, will and power, but this does not necessarily mean any change in God's attributes in accordance with these changes in the empirical world.
One of the main issues of theological debate was the relationship between God's power and human acts. The Mu‘tazilites, admitting the continuation of an accident (arad) of human power, asserted that human acts were decided and produced (or even created) by people themselves; thus they justified human responsibility for acts and maintained divine justice. In contrast, assuming that all the events in the world and human acts are caused by God's knowledge, will and power, al-Ghazali admits two powers in human acts, God’s power and human power. Human power and act are both created by God, and so human action is God’s creation (khalq), but it is also human acquisition (kasb) of God's action, which is reflected in human volition. Thus al-Ghazali tries to harmonize God’s omnipotence and our own responsibility for our actions (see OMNIPOTENCE).
As for God’s acts, the Mu‘tazilites, emphasizing divine justice, assert that God cannot place any obligation on people that is beyond their ability; God must do what is best for humans and must give rewards and punishments according to their obedience and disobedience. They also assert that it is obligatory for people to know God through reason even before revelation. Al-Ghazali denies these views. God, he says, can place any obligations he wishes upon us; it is not incumbent on him to do what is best for us, nor to give rewards and punishments according to our obedience and disobedience. All this is unimaginable for God, since he is absolutely free and is under no obligation at all. Obligation (wujub), says al-Ghazali, means something that produces serious harm unless performed, but nothing does harm to God. Furthermore, good (hasan) and evil (qabih) mean respectively congruity and incongruity with a purpose, but God has no purpose at all. Therefore, God's acts are beyond human ethical judgment. Besides, says al-Ghazali, injustice (zulm) means an encroachment on others' rights, but all creatures belong to God; therefore, whatever he may do to his creatures, he cannot be considered unjust.
The Mu‘tazilites, inferring the hereafter from the nature of this world, deny the punishment of unbelievers in the grave from their death until the resurrection, and also the reality of the various eschatological events such as the passing of the narrow bridge and the weighing on the balance of human deeds (see ESCHATOLOGY). Al-Ghazali, on the other hand, rejecting the principle of analogy between the two worlds, approves the reality of all these events as transmitted traditionally, since it cannot be proven that they are rationally or logically impossible. Another important eschatological event is the seeing of God (ru’ya Allah). While the Mu‘tazilites deny its reality, asserting that God cannot be the object of human vision, al-Ghazali approves it as a kind of knowledge which is beyond corporeality; in fact, he later gives the vision of God deep mystical and philosophical meaning. In short, the Mu‘tazilites discuss the unity of God and his acts from the viewpoint of human reason, but al-Ghazali does so on the presupposition that God is personal and an absolute reality beyond human reason.
3 Refutation of philosophy

Al-Ghazali’s relationship with philosophy is subtle and complicated. The philosophy represented by AL-FARABI and IBN SINA (Avicenna) is, for al-Ghazali, not simply an object of criticism but also an important component of his own learning. He studied philosophy intensively while in Baghdad, composing Maqasid al falasifa (The Intentions of the Philosophers), and then criticizing it in his Tahafut al falasifa (The Incoherence of the Philosophers). The Maqasid is a precise summary of philosophy (it is said to be an Arabic version of Ibn Sina’s Persian Danashnamah-yi ala'i (Book of Scientific Knowledge) though a close comparative study of the two works has yet to be made). In the medieval Latin world, however, the content of the Maqasid was believed to be al-Ghazali’s own thought, due to textual defects in the Latin manuscripts. As a result, the image of the ‘Philosopher Algazel’ was created. It was only in the middle of the nineteenth century that Munk corrected this mistake by making use of the complete manuscripts of the Hebrew translation. More works by al-Ghazali began to be published thereafter, but some contained philosophical ideas he himself had once rejected. This made al-Ghazali’s relation to philosophy once again obscure. Did he turn back to philosophy late in life? Was he a secret philosopher? From the middle of the twentieth century there were several attempts to verify al-Ghazali’s authentic works through textual criticism, and as a result of these works the image of al-Ghazali as an orthodox Ash‘arite theologian began to prevail. The new trend in the study of al-Ghazali is to re-examine his relation to philosophy and to traditional Ash‘arism while at the same time recognizing his basic distance from philosophy.
Al-Ghazali composed three works on Aristotelian logic, Mi‘yar al-‘ilm (The Standard Measure of Knowledge), Mihakk al-nazar f'l-mantiq (The Touchstone of Proof in Logic) and al-Qistas al-mustaqim (The Just Balance). The first two were written immediately after the Tahafut `in order to help understanding of the latter', and the third was composed after his retirement. He also gave a detailed account of logic in the long introduction of his writing on legal theory, al-Mustasfa min ‘ilm al-usul (The Essentials of Islamic Legal Theory). Al-Ghazali's great interest in logic is unusual, particularly when most Muslim theologians were antagonistic to it, and can be attributed not only to the usefulness of logic in refuting heretical views (al-Qistas is also a work of refutation of the Isma‘ilis), but also to his being fascinated by the exactness of logic and its effectiveness for reconstructing the religious sciences on a solid basis.
There is a fundamental disparity between al-Ghazali’s theological view and the Neoplatonic Aristotelian philosophy of emanationism. Al-Ghazali epitomizes this view in twenty points, three of which are especially prominent:
  • (1) the philosophers’ belief in the eternity of the world,
  • (2) their doctrine that God does not know particulars, and
  • (3) their denial of the resurrection of bodies.
These theses are ultimately reducible to differing conceptions of God and ontology. Interestingly, al-Ghazali’s criticism of philosophy is philosophical rather than theological, and is undertaken from the viewpoint of reason.
First, as for the eternity of the world, the philosophers claim that the emanation of the First Intellect and other beings is the result of the necessary causality of God's essence, and therefore the world as a whole is concomitant and coeternal with his existence (see CREATION AND CONSERVATION, RELIGIOUS DOCTRINE OF). Suppose, say the philosophers, that God created the world at a certain moment in time; that would presuppose a change in God, which is impossible. Further, since each moment of time is perfectly similar, it is impossible, even for God, to choose a particular moment in time for creation. Al-Ghazali retorts that God's creation of the world was decided in the eternal past, and therefore it does not mean any change in God; indeed, time itself is God's creation (this is also an argument based on the Aristotelian concept of time as a function of change). Even though the current of time is similar in every part, it is the nature of God's will to choose a particular out of similar ones.
Second, the philosophers deny God's knowledge of particulars or confine it to his self-knowledge, since they suppose that to connect God's knowledge with particulars means a change and plurality in God's essence. Al-Ghazali denies this. If God has complete knowledge of a person from birth to death, there will be no change in God's eternal knowledge, even though the person's life changes from moment to moment.
Third, the philosophers deny bodily resurrection, asserting that 'the resurrection' means in reality the separation of the soul from the body after death. Al-Ghazali criticizes this argument, and also attacks the theory of causality presupposed in the philosophers’ arguments (see CAUSALITY AND NECESSITY IN ISLAMIC THOUGHT). The so-called necessity of causality is, says al-Ghazali, simply based on the mere fact that an event A has so far occurred concomitantly with an event B. There is no guarantee of the continuation of that relationship in the future, since the connection of A and B lacks logical necessity. In fact, according to Ash‘arite atomistic occasionalism, the direct cause of both A and B is God; God simply creates A when he creates B. Thus theoretically he can change his custom (sunna, ‘ada) at any moment, and resurrect the dead: in fact, this is 'a second creation'.
Al-Ghazali thus claims that the philosophers' arguments cannot survive philosophical criticism, and Aristotelian logic served as a powerful weapon for this purpose. However, if the conclusions of philosophy cannot be proved by reason, is not the same true of theological principles or the teachings of revelation? How then can the truth of the latter be demonstrated? Herein lies the force of al-Ghazali’s critique of reason.
4 Relation to philosophy

Philosophy declined in the Sunni world after al-Ghazali, and his criticism of philosophy certainly accelerated this decline. Nearly a century later, IBN RUSHD (Averroes) made desperate efforts to resist the trend by refuting al-Ghazali’s Tahafut in his Tahafut al-tahafut (The Incoherence of the Incoherence) and Fasl al-maqal (The Decisive Treatise), but he could not stop it. Philosophy was gradually absorbed into
Sufism and was further developed in the form of mystical philosophy, particularly in the Shi'ite world (see MYSTICAL PHILOSOPHY IN ISLAM). In the Sunni world also, Aristotelian logic was incorporated into theology and Sufism was partially represented philosophically. In all this, al-Ghazali’s influence was significant.
Ghazali committed himself seriously to Sufism in his later life, during which time he produced a series of unique works on Sufism and ethics including Mizan al-‘amal (The Balance of Action), composed just before retirement, Ihy’ ‘ulum al-din, his magnum opus written after retirement, Kitab al-arba‘in fi usul al-din (The Forty Chapters on the Principles of Religion), Kimiya’-yi sa‘adat (The Alchemy of Happiness), Mishkat al-anwar (The Niche of the Lights) and others. The ultimate goal of humankind according to Islam is salvation in paradise, which is depicted in the Qur’an and Traditions as various sensuous pleasures and joy at the vision of God. The greatest joy for al-Ghazali, however, is the seeing of God in the intellectual or spiritual sense of the beatific vision. In comparison with this, sensuous pleasures are nothing. However, they remain necessary for the masses who cannot reach such a vision.
Resurrection for IBN SINA means each person's death - the separation of the soul from the body - and the rewards and punishments after the `resurrection' mean the pleasures and pains which the soul tastes after death. The soul, which is in contact with the active intellect through intellectual and ethical training during life, is liberated from the body by death and comes to enjoy the bliss of complete unity with the active intellect. On the other hand, the soul that has become accustomed to sensual pleasures while alive suffers from the pains of unfulfilled desires, since the instrumental organs for that purpose are now lost. Al-Ghazali calls death `the small resurrection' and accepts the state of the soul after death as Ibn Sina describes. On the other hand, the beatific vision of God by the elite after the quickening of the bodies, or 'the great resurrection', is intellectual as in the view of the philosophers. The mystical experience (fans) of the Sufi is a foretaste of the real vision of God in the hereafter.
A similar influence of philosophy is also apparent in al-Ghazali’s view of human beings. Human beings consist of soul and body, but their essence is the soul. The human soul is a spiritual substance totally different from the body. It is something divine (amr ilahi), which makes possible human knowledge of God. If the soul according to al-Ghazali is an incorporeal substance occupying no space (as Ibn Sina implies, though he carefully avoids making a direct statement to that effect), then al-Ghazali’s concept of the soul is quite different from the soul as 'a subtle body' as conceived by theologians at large. According to al-Ghazali, the body is a vehicle or an instrument of the soul on the way to the hereafter and has various faculties to maintain the bodily activities. When the main faculties of appetite, anger and intellect are moderate, harmonious and well-balanced, then we find the virtues of temperance, courage, wisdom and justice. In reality, however, there is excess or deficiency in each faculty, and so we find various vicious characteristics. The fundamental cause for all this is love of the world (see SOUL IN ISLAMIC PHILOSOPHY).
The purpose of religious exercises is to rectify these evil dispositions, and to come near to God by `transforming them in imitation of God's characteristics' (Iakhalluq bi-akhlaq Allah). This means transforming the evil traits of the soul through bodily exercises by utilizing the inner relationship between the soul and the body. Al-Ghazali here makes full use of the Aristotelian theory of the golden mean, which he took mainly from IBN MISKAWAYH. In order to maintain the earthly existence of the body as a vehicle or an instrument of the soul, the mundane order and society are necessary. In this framework, the traditional system of Islamic law, community and society are reconsidered and reconstructed.
The same is also true of al-Ghazali’s cosmology. He divides the cosmos into three realms: the world of mulk (the phenomenal world), the world of malakut (the invisible world) and the world of jabarut (the intermediate world). He takes this division from the Sufi theorist Abu Talib al-Makki, although he reverses the meanings of malakut and jabarut. The world of malakut is that of God’s determination, a world of angels free from change, increase and decrease, as created once spontaneously by God. This is the world of the Preserved Tablet in heaven where God's decree is inscribed. The phenomenal world is the incomplete replica of the world of malakut, which is the world of reality, of the essence of things. The latter is in some respects similar to the Platonic world of Ideas, or Ibn Sina's world of inteiligibles. The only difference is that the world of malakut is created once and for all by God, who thereafter continues to create moment by moment the phenomenal world according to his determination. This is a major difference from the emanationist deterministic world of philosophy. Once the divine determination is freely made, however, the phenomenal world changes and evolves according to a determined sequence of causes and effects. The difference between this relationship and the philosophers' causality lies in whether or not the relation of cause and effect is necessary. This emphasis on causal relationship by al-Ghazali differs from the traditional Ash‘arite occasionalism.
The Sufis in their mystical experience, and ordinary people in their dreams, are allowed to glimpse the world of the Preserved Tablet in heaven, when the veil between that world and the soul is lifted momentarily. Thus they are given foreknowledge and other forms of supernatural knowledge. The revelation transmitted by the angel to the prophets is essentially the same; the only difference is that the prophets do not need any special preparation. From the viewpoint of those given such special knowledge of the invisible world, says al-Ghazali, the world is the most perfect and best possible world. This optimism gave rise to arguments and criticism even in his lifetime, alleging that he was proposing a Mu‘tazilite or philosophical teaching against orthodox Ash‘arism. He certainly says in his theological works that it is not incumbent upon God to do the best for humans; however, this does not mean that God will not in fact do the best of his own free will. Even so, behind al-Ghazali’s saying that God does so in actuality, we can see the influence of philosophy and Sufism.
Al-Ghazali's criticism of philosophy and his mystical thought are often compared to the philosophical and theological thought of Thomas AQUINAS, NICHOLAS OF AUTRECOURT, and even DESCARTES and PASCAL. In the medieval world, where he was widely believed to be a philosopher, he had an influence through the Latin and Hebrew translations of his writings and through such thinkers as Yehuda HALEVI, Moses MAIMONIDES and Raymond Martin of Spain.

See also: ASH‘ARIYYA AND MU‘TAZILA; CAUSALITY AND NECESSITY IN ISLAMIC THOUGHT; IBN SINA; IBN RUSHD; ISLAM, CONCEPT OF PHILOSOPHY IN; MYSTICAL PHILOSOPHY IN ISLAM; NEOPLATONISM IN ISLAMIC PHILOSOPHY
5 LIST OF WORKS:
Al-Ghazali (1094) Maqasid al falasifa (The Intentions of the Philosophers), ed. S. Dunya, Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1961. (A precise summary of Islamic philosophy as represented by Ibn Sina.)
- (1095) Tahafut al falasifa (The Incoherence of the Philosophers), ed. M. Bouyges, Beirut: Imprimerie Catholique, 1927; trans, S.A. Kamah, Al-Ghazali's Tahafut al-Falasifah, Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1963. (Al-Ghazali’s refutation of Islamic philosophy.)
- (1095) Mi‘yar al-‘ilm (The Standard Measure of Knowledge), ed. S. Dunya, Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1961. (A summary account of Aristotelian logic.)

- (1095) Mihakk al-nazar fi’l-mantiq (The Touchstone of Proof in Logic), ed. M. al-Nu‘mani, Beirut: Dar al-Nahdah al-Hadithah, 1966. (A summary of Aristotelian logic.)

- (1095) al-Iqtisad fi’l-‘tiqad (The Middle Path in Theology), ed. I.A. Qubukçu and H. Atay, Ankara: Nur Matbaasi, 1962; partial trans. A.-R. Abu Zayd, Al-Ghazali on Divine Predicates and Their Properties, Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf, 1970; trans. M. Asin Palacios, El justo medio en la creencia, Madrid, 1929. (An exposition of al-Ghazali’s Ash‘arite theological system.)

-- (1095) Mizan al-‘amal (The Balance of Action), ed. S. Dunya, Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964; trans. H. Hachem, Ghazali: Critere de l’action, Paris: Maisonneuve, 1945. (An exposition of al-Ghazali’s ethical theory.)

- (1095-6) al-Qistas al-mustaqim (The Just Balance), ed. V. Chelhot, Beirut: Imprimerie Catholique, 1959; trans, V Chelhot, ‘Al-Qistas al-Mustaqim et la connaissance rationnelle chez Ghazali’, Bulletin d'Etudes Orientales 15, 1955-7: 7-98; trans. D.P. Brewster, Al-Ghazali: The Just Balance, Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf, 1978. (An attempt to deduce logical rules from the Qur’an and to refute the Isma‘ilis.)

- (1096-7) Ihya’ ‘ulum al-din (The Revival of the Religious Sciences), Cairo: Matba‘ah Lajnah Nashr al-Thaqafah al-Islamiyyah, 1937-8, 5 vols; partial translations can be found in E.E. Calverley, Worship in Islam: al-Ghazali’s Book of the Ihya’ on the Worship, London: Luzac, 1957; N.A. Faris, The Book of Knowledge, Being a Translation with Notes of the Kitab al-ilm of al-Ghazzali’s Ihya’ ‘Ulum al-Din, Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf, 1962; N.A. Faris, The Foundation of the Articles of Faith: Being a Translation with Notes of the Kitab Qaw‘id al-‘Aqa’id of al-Ghazzali’s Ihya’ ‘Ulum al-Din, Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf, 1963; L. Zolondek, Book XX of al-Ghazali’s 1hya’ ‘Ulum al-Din, Leiden: Brill, 1963; T.J. Winter, The Remembrance of Death and the Afterlife: Book XL of the Revival of Religious Sciences, Cambridge: The Islamic Text Society, 1989; K. Nakamura, Invocations and Supplications: Book IX of the Revival of tae Religious Sciences, Cambridge: The Islamic Text Society, 1990; M. Bousquet, Ihya’ ‘ouloum ed-din ou vivification de la foi, analyse et index, Paris: Max Besson, 1951. (Al-Ghazali’s summa of the religious sciences of Islam.)

- (1097) al-Risala al-Qudsiyya (The Jerusalem Epistle), ed. and trans. A.L. Tibawi, ‘Al-Ghazali's Tract on Dogmatic Theology’, The Islamic Quarterly 9 (3/4), 1965: 62-122. (A summary of al-Ghazali’s theological system, later incorporated into the Ihya’.)
- (1106-7) Mishkat al-anwar (The Niche of the Lights), ed. A. Afifi, Cairo, 1964; trans. WH.T Gairdner, Al-Ghazzali's Mishkat al-Anwar, London: The Royal Asiatic Society, 1924; repr. Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf, 1952; R. Deladriere, Le Tabernacle des lumieres, Paris: Editions du Seuil, 1981; A.-E. Elschazli, Die Nische der Lichter, Hamburg: Felix Meiner, 1987. (An exposition of al-Ghazali’s mystical philosophy in its last phase.)


- (1109) al-Mustafa min ‘ilm al-usul (The Essentials of the Islamic Legal Theory), Cairo: al-Matba'ah al-Amiriyyah, 1322-4 AH. (An exposition and standard work of the Islamic legal theory of the Shaffite school.)

- (c. 1108) al-Munqidh min al-dalal (The Deliverer from Error), ed. J. Saliba and K. Ayyad, Damascus: Maktab al-Nashr al-‘Arabi, 1934; trans. W M. Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali, London: Allen & Unwin, 1953; trans. R.J. McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of al-Ghazali’s al-Munqidh min al-Dalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, Boston, MA: Twayne, 1980. (Al-Ghazali’s spiritual autobiography.)
REFERENCES AND FURTHER READING:

Abu Ridah, M. (1952) Al-Ghazali and seine Widerlegung der griechischen Philosophie (Al-Ghazali and His Refutation of Greek Philosophy), Madrid: S.A. Blass. (An analysis of al-Ghazali’s refutation of philosophy in the framework of his religious thought.)
Campanini, M. (1996) Al-Ghazzali’, in S.H. Nasr and O. Leaman (eds) History of Islamic Philosophy, London: Routledge, ch. 19, 258-74. (The life and thought of al-Ghazali is discussed in detail, with a conspectus of his thought through his very varied career.)
Frank, R. (1992) Creation and the Cosmic System: al-Ghazali and Avicenna, Heidelberg: Carl Winter Universitätsverlag. (One of the recent works clarifying the philosophical influence upon al-Ghazali, representing a new trend in the study of al-Ghazali.)

(1994) Al-Ghazali and the Ash‘arite School, Durham, NC: Duke University Press. (A new attempt to prove al-Ghazali’s commitment to philosophy and his alienation from traditional Ash‘arism.)

Ibn Rushd (c.1180) Tahafut al-tahafut (The Incoherence of Incoherence), trans, S. Van den Bergh, Averroes' Tahafut al-Tahafut, 2 vols, London: Luzac, 1969. (A translation with detailed annotations of Ibn Rushd's refutation of al-Ghazali’s criticism of philosophy.)
Jabre, F. (1958a) La notion de certitude selon Ghazali dans ses origines psychologiques et historiques (The Notion of Certitude According to al-Ghazali and Its Psychological and Historical Origins), Paris: Vrin. (A comprehensive analysis of al-Ghazali’s important concept of certitude.)
(1958b), La notion de la ma'rifa chez Ghazali (The Notion of Gnosis in al-Ghazali), Beirut: Librairie Orientale. (An analysis of the various aspects of the notion of mystical knowledge.)
Laoust, H. (1970) La politique de Gazali (The Political Thought of al-Ghazali), Paris: Paul Geuthner. (An exposition of al-Ghazali’s political thought, showing him as an orthodox jurist.)
Lazarus-Yafeh, H. (1975) Studies in al-Ghazali, Jerusalem: The Magnes Press. (Literary stylistic analyses applied to al-Ghazali’s works.)
Leaman, O. (1985) An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press. (A good introduction to al-Ghazali’s philosophical arguments against the historical background of medieval Islamic philosophy.)
(1996) ‘Ghazali and the Ash‘arites’, Asian Philosophy 6 (1): 17-27. (Argues that the thesis of al-Ghazali’s distance from Ash‘arism has been overdone.)
Macdonald, D.B. (1899) ‘The Life of al-Ghazzali, with Especial Reference to His Religious Experiences and Opinions’, Journal of the American Oriental Society 20: 71-132. (A classic biography, dated but still somewhat useful.)
Marmura, M.E. (1995) ‘Ghazalian Causes and Intermediaries’, Journal of the American Oriental Society 115: 89-100. (Admitting the great influence of philosophy on al-Ghazali, the author tries to demonstrate al-Ghazali’s commitment to Sufism.)
Nakamura Kojiro (1985) ‘An Approach to Ghazali’s Conversion’, Orient 21: 46-59. (An attempt to clarify what Watt (1963) calls ‘a crisis of civilization’ as the background of al-Ghazali’s conversion.)
(1993) ‘Was Ghazali an Ash‘arite?’, Memoirs of Research Department of the Toyo Bunko 51: 1-24. (Al-Ghazali was still an Ash‘arite, but his Ash‘arism was quite different from the traditional form.)
Ormsby, E. L. (1984) Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over al-Ghazali’s ‘Best of All Possible Worlds’, Princeton, NJ: Princeton University Press. (A study of the controversies over al-Ghazali’s ‘optimistic’ remarks in his later works.)
Shehadi, F (1964) Ghazali's Unique Unknowable God: A Philosophical Critical Analysis of Some of the Problems Raised by Ghazali's View of God as Utterly Unique and Unknowable, Leiden: Brill. (A careful philosophical analysis of al-Ghazali’s religious thought.)
Sherif, M. (1975) Ghazali's Theory of Virtue, Albany, NY: State University of New York Press. (A careful analysis of al-Ghazali’s ethical theory in his Mizan and the philosophical influence on it.)
Smith, M. (1944) Al-Ghazali the Mystic, London: Luzac. (A little dated, but still a useful comprehensive study of al-Ghazali as a mystic and his influence in both the Islamic and Christian worlds.)
Watt, W M. (1963) Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, Edinburgh: Edinburgh University Press. (An analysis of al-Ghazali’s life and thought in the historical and social context from the viewpoint of sociology of knowledge.)
Zakzouk, M. (1992) Al-Ghazali’s Philosophie im Vergleich mit Descartes (Al-Ghazali’s Philosophy Compared with Descartes), Frankfurt: Peter Lang. (A philosophical analysis of al-Ghazali’s thought in comparison with Descartes with reference to philosophical doubt.) 

KOJIRO NAKAMURA 

(Sumber: http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm)